Kebahagiaa? Menurutku masih banyak sisi kebahagiaan yang dapat dicari tinggal nyarinya itu dengan tidak merebut kebahagiaan orang lain . Sabarin aja
Bahagia itu disaat lo susah , di fitnah , orang menganggap lo jelak tapi semua omonganya gak masuk akal , hanya omongan yang gak bermutu yang sering kali menjatuhkan kebahagiaan orang lain dan disaat lo udah jatuh lo bakalan tau mana teman mana lawan , mana muka dua mana yang bener bener setia temenan sama lo , mana yang ngeledekin orang tujuanya untuk huhu hara mana yang benar benar tertawa akan keburukan orang tersebut , sepertinya orang orang seperti itu harus banyak banyak bicara pada diri sendiri : Dimana letak kemanusiaan kalian? itukah masa indah kalian?
Banyak yang bilang masa masa SMA itu masa masa indah . Menurut kalian indah karna kalian punya kubu yang populer , mempunyai kubu yang sering menjatohkan orang lain , masa masa yang sering ngelawan guru , masa masa yang ngerekrut kebahagiaan orang lain atau apa? Menurutku indahnya masa SMA itu Mengetahui mana yang bener bener kawan , mana yang ada saat kita jatuh , mana yang ada saat kita susah disaat orang orang menjauhkan dengan menjelek jelekan kejelekan yang jauh lebih jelek dari kejelekan orang tersebut . Banyak kebahagiaan yang gampang dicari asal jangan merebut kebahagiaan orang lain karna sekali berbuat akan ketagihan .
kebahagiaan jauh lebih bahagia saat gue bener bener bisa beli mobil idaman gue , bisa beli tiket menuju surga dengan cara membahagiakan orang yang harus gua bahagiakan , berbakti kepada orang yang jauh diatas umur gua , menenangkan hati dengan tidak Kepo dengan kehidupan orang . Gue jauh lebih sibuk dengan men-design Rumah idaman gua , Me-luaskan garasi tempat mobil mobil sport idaman gua berjejeran disana , Menyantumi anak yatim yang tawa kecilnya berasal dari gue walaupun secuil kebahagiaan itu menenangkan hati . Tidak ada yang lebih bahagia selain membuat orangtua gua bahagia , kalo orang tua gua belom bahagia kemewahan belom lengkap. Jadi gua gakperduli dimasa SMA gu ini gua gak memiliki kebahagiaan karna bukan itu tujuan gue .
song of me
Thursday, 19 June 2014
Tuesday, 18 February 2014
Rasanya Berharap
Rasanya semua
terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang
aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa banyak
perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika
sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan yang
biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa. Entahlah, perasaan
ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu.
Aku menjadi takut kehilangan kamu.
Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada di sampingku. Kamu
seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak kumengerti
sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku butuh udara.
Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata. Salahkah jika
kamu selalu kunomorsatukan?
Tapi... entah mengapa sikapmu tidak
seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku. Tatapan matamu tak
setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan kamu? Apakah kamu
tak merasakan yang juga aku rasakan?
Kamu mungkin belum terlalu paham
dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah
jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku selalu kehilangan kamu,
dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memangnya aku
siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku sudah bersyukur,
apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah?
Janjimu terlalu banyak, hingga aku
lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati. Begitu sering kamu menyakiti,
tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku yang hanya bisa terdiam dan
membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan tulus namun kau hempaskan
dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku? Apakah aku hanyalah
persimpangan jalan yang selalu kau abaikan – juga
kautinggalkan?
Apakah aku tak
berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu ikut aturanmu? Di
mana letak hatimu?! Aku tak bisa bicara banyak, juga tak ingin mengutarakan
semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara tentang cinta, jika
kauterus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata rindu, jika berkali-kali
kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain memandangimu
dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan.
Sadarkah jemarimu
selalu lukai hatiku? Ingatkah perkataanmu selalu menghancurleburkan
mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Terlau banyak
pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu mencintaiku. Aku
mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku.
Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kauletakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu?
Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku.
Namun, semua jauh
dari harapku selama ini. Mungkin, memang aku yang terlalu berharap terlalu
banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang
sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang bersalah!
Tenanglah, tak
perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok, terutama jika sebabnya kamu.
Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu pasti tak sadar, aku
berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu.
Menjauhlah. Aku
ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak
kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng dengan mudahnya, yang
berkata sayang dengan gampangnya.
dari seseorang yang kehabisan cara
membuktikan rasa
cintanya
TENTANG KITA
Ini bukan
yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang.
Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah
mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya
enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk
berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat.
Kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap
menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa
emosi, aku bisa mati iseng sendiri.
Tentu saja,
kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang tersimpan
rapat-rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling
menganggu. Bukankah dengan berjauhan seperti ini, semua terasa jadi lebih
berarti? Seakan-akan aku tak pernah peduli, seakan-akan aku tak mau tahu,
seakan-akan aku tak miliki rasa perhatian. Bagiku, sudah cukup seperti ini,
cukup aku dan kamu, tanpa kita.
Kali ini,
aku tak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita tentang banyak hal
yang mungkin saja sulit kaupahami. Karena aku sudah tahu, kamu sangat sulit
diajak basa-basi, apalagi jika berbicara soal cinta mati. Aku yakin, kamu akan
menutup telinga dan membesarkan volume lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa
lirik yang tak bisa kauterjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega mem bebani mu
dengan cerita-cerita absurd yang selalu kau benci. Seperti dulu, saat aku
bicara cinta, kaumalah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku berkata
rindu, namun kautulikan telinga.
Hanya cerita
sederhana yang mungkin tak ingin kaudengar sebagai pengantar tidurmu. Kamu tak
suka jika kuceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan air
mata menjadi senyum pura-pura? Tentu saja, kautak akan melihatnya, sejauh yang
kutahu; kamu tidak peka. Dan, mungkin saja sifat burukmu masih sama, walaupun
kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata.
Entah
mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar
suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada
banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ah... sekarang kamu
pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Aku pun juga begitu,
tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang samar, tak ingin mereka-reka senyummu
yang tak seindah dulu.
Kalau boleh
aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku.
Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai
tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah kesekian
kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang
mengikuti gelitik manja angin; tertiup jauh namun mungkin akan kembali.
Wajah baruku
bisa kaulihat sendiri, terlihat lebih baik dan lebih hangat daripada saat awal
perpisahan kita. Bicara tentang perpisahan, benarkah kita memang telah
berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata
"saling", tapi mengapa hatiku masih ingin terus mengikatmu? Dan,
mengapa hingga saat ini kamu tak benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi
alasan untuk kita saling berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu
masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa.
Tapi, katamu, masih ada rasa nyaman ketika kita kembali berdekatan. Terlalu
tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada dalam
status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita; miliki denyut dan detak
yang sama.
Tidak usah
dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi
yang sudah lama sekali datang menghantui. Sejak kamu tak lagi di sini, sejak
aku dan kamu memilih jalan sendiri-sendiri, aku malah sering main dengan sepi,
sulit untuk dipungkiri.
Sebentar
lagi tanggal 1 September. Ingat apa yang kita lakukan setahun yang lalu?
Kamu
mengajakku melihat kolam ikan lele putih yang ada di belakang rumah. Suara ayam
jantan dan ayam betina ikut meraung ramah, turut menghangatkan suasana. Ibumu
mengantar pisang goreng yang masih hangat, kamu mengulurkan tangan dan mengucap
terima kasih— lalu ibu pergi. Saat itu, kamu bercerita banyak, bercerita
tentang ayahmu yang sudah berbahagia bersama Bapa di Surga, tentang keluargamu,
dan bertanya tentang kejelasan status kita. Ini membuatku terkejut, kamu yang
pendiam tenyata bisa berlaku serius? Aku tertawa geli; kamu masih memasang
wajah serius.
Tatapanmu
terlihat semakin serius, semakin dalam, dan kamu berucap pelan-pelan. Iya, saat
itu aku dan kamu menjadi kita. Indah. Tapi, masa lalu, dulu. Sudah kubilang
dari awal kan, "dulu" itu memang menyenangkan.
Dan, di
antara tugas ospek yang membuat jemariku pegal
di antara
kertas-kertas yang berserakan
Aku masih
merindukanmu.
Subscribe to:
Posts (Atom)